Saturday, July 4, 2009

Curhat Karyawan Tentang Atasan


Seorang teman mengatakan bahwa di sulit sekali bekerjasama dengan atasanya, “Masa ga pernah ngasih arahan….ga pernah ngasih tau target gue apa… eh, tiba-tiba bilang gue kerja ga bener???”

“Suatu waktu Atasan gue minta klarifikasi tentang masalah yang terjadi…eh gue jelasin ga paham dia…eh malah nyolot, dibilang gue kerja ga service oriented sama customer!” Dengan suara yang semakin tinggi teman saya ini terus nyerocos bercerita.

Saya sendiri juga akhirnya juga tidak mehami lagi karena permasalahan yang disampaikan semakin panjang dan melebar kemana-mana. Yang Saya tahu pasti teman ini merasa bahwa atasanya tidak bisa berperan sebagai manager dan leader yang baik.

Dalam pandangan orang yang awam (termasuk pandangan saya juga dahulu), bahwa tugas pemimpin (leader) itu hanya mengawasi anak buahnya untuk bekerja, memarahi anak buahnya yang malas, kerjanya hanya duduk-duduk santai.

Saya pikir memang tidak salah ada pandangan yang demikian, karena hakekatnya pandangan suatu masyarakat itu dibentuk oleh proses internalisasi pengetahuan dari apa yang dilihat, dibaca dan diajarkan oleh lingkungan. Mungkin pandangan ini akan terkesan primitive. It may be true.

Dengan adanya cerita kemarahan teman saya di atas dan perasaan dalam hati Saya yang diam-diam mengatakan setuju dengan pendapatnya, menunjukan bahwa jaman sekarang harapan masyarakat sudah berubah dari yang sebelumnya akan peran (role) seorang pemimpin (leader), namun masih terdapat “lack” dengan kenyataan bahwa masih banyak manager dari yang level junior sampai level senior yang masih belum competent dan mampu menampilkan diri sesuai harapan kekinian jaman.

Mohon maaf sebelumnya jika terkesan me-generalisasi pandangan Saya dan teman ini sebagai pandangan masyarakat, tetapi saya tetap “keukeuh” bahwa dalam logika berfikir kolektif masyarakat telah terjadi perubahan mengenai harapan akan peran seorang leader.

Para leader pada umumnya masih belum memiliki (mau) sikap mental yang seharusnya. Ada yang masih memiliki sikap mental buruh/babu, penjilat, dan bahkan ada yang memiliki sikap mental selebritis. Kesemuanya itu tidak pada tempatnya.
Yang bersikap mental seperti buruh, Dia akan menganggap anak buahnya sebagai saingan dan tidak senang kalau anak buahnya lebih pintar, maju, dibandingkan dengan dirinya. Melupakan tanggung jawabnya unntuk mengembangkan anak buahnya. Dia tidak memiliki kemampuan untuk mendelegasikan tugas pada anak buahnya dan bekerja sendiri tak ubahnya dengan karyawan pada umumnya.

Si penjilat, akan dengan mati-matian melayani atasan dengan sangat berlebihan sehingga melupakan anak buahnya. Tidak perduli anak buahnya kocar-kacir bagaikan anak ayam kehilangan induk. Bahkan kadang kala tidak perduli dengan jalannya operasional kerjaan teamnya. Team work baginya adalah orang-orang yang mendukung misinya untuk membuat atasan klimis dan licin terjilati. Biasanya operasional kerja teamnya akan tidak optimal memainkan peran dan fungsi sebagai bagian dari organsisasi yang besar. Dan kalau mendapat kompalin dari bagian lain akan dengan sangat mudah si penjilat menyalahkan anak buahnya sebagai orang yang berposisi lebih lemah darinya.

Sedangkan si “selebritis “ akan abai pada peran dan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, lebih sibuk tebar pesona demi mendapatkan pujian dari lingkungan bahwa Dia adalah yang paling menawan dan cerdas secara ragawi. Kok tidak nyambung? Cerdas secara ragawi??? Memang si “selebritis” biasanya kalau menganalisa permasalahan juga dangkal dan sering tidak nyambung. Seperti layaknya setereotipe yang digambarkan masyarakat mengenai “selebriti” lah. Mengandalkan rasionalisasi tetapi tidak memiliki kapasitas yang mencukupi, terkesan dipaksakan untuk logis. Anak buah bagi dia adalah layaknya groupies yang harus memuja-muja si “selebritis” setiap waktu. Segala salah dan kegagalan team dalam bekerja adalah dosa anak buah sekalian, bukan Atasan.

Kembali ke masalah teman saya tadi, jika apa yang diharapkanya tidak sesuai dengan harapanya apa yang harus dilakukanya? Berdoa, menyanyi, menangis, atau ,marah-marah???

Kembali ke hakekat kehidupan sajalah bahwa itu adalah kenyataan, kalaulah kita mampu merubah keadaan maka rubahlah namun jika tidak mampu kita harus menerima segala konsekuensi dan segera melakukan antisipasi untuk survive. Intinya harus ada keputusan dan action.

Kalaulah tujuan dan aspirasi kita dalam bekerja tidak bisa tercapai dengan bekerja di tempat tersebut dan kita mampu mencari pekerjaan lain, go a head lah pindah.
Kalau kita tidak mampu merubah keadaaan dan tidak mampu mencari pekerjaan yang lain maka kita harus menyesuaikan diri dengan aturan main “permainan atasan”, akan tidak nyambung kalau atasan mengajak bermain sepakbola tetapi kita tetap keukeuh memakai aturan permainan bola volley.

Jangan sampai kita tidak tetap di situ, tetap tidak mampu merubah keadaan dan tetap tidak mau menyesuaikan diri juga. Ingat waktu terus bergerak, kalau menunggu pertolongan Tuhan agar merubah keadaan melalui takdirnya. Apakah kita tidak GR (Gede Rasa)? Apakah kita cukup PD (Percaya Diri) dengan tingkat keimanan kita, sehingga Tuhan akan membantu kita dengan kita hanya berdiam diri. “Siapa elu?” kata Tuhan.

Tuhan pun tidak menyarankan itu,” Tuhan akan merubah nasib suatu kaum jika dia berusaha”.

Benar yang dikatakan orang Betawi, “Di Jakarta (dunia) ga ada yang gratis, bung!”

No comments:

Post a Comment