Saturday, July 4, 2009

Curhat Karyawan Tentang Atasan


Seorang teman mengatakan bahwa di sulit sekali bekerjasama dengan atasanya, “Masa ga pernah ngasih arahan….ga pernah ngasih tau target gue apa… eh, tiba-tiba bilang gue kerja ga bener???”

“Suatu waktu Atasan gue minta klarifikasi tentang masalah yang terjadi…eh gue jelasin ga paham dia…eh malah nyolot, dibilang gue kerja ga service oriented sama customer!” Dengan suara yang semakin tinggi teman saya ini terus nyerocos bercerita.

Saya sendiri juga akhirnya juga tidak mehami lagi karena permasalahan yang disampaikan semakin panjang dan melebar kemana-mana. Yang Saya tahu pasti teman ini merasa bahwa atasanya tidak bisa berperan sebagai manager dan leader yang baik.

Dalam pandangan orang yang awam (termasuk pandangan saya juga dahulu), bahwa tugas pemimpin (leader) itu hanya mengawasi anak buahnya untuk bekerja, memarahi anak buahnya yang malas, kerjanya hanya duduk-duduk santai.

Saya pikir memang tidak salah ada pandangan yang demikian, karena hakekatnya pandangan suatu masyarakat itu dibentuk oleh proses internalisasi pengetahuan dari apa yang dilihat, dibaca dan diajarkan oleh lingkungan. Mungkin pandangan ini akan terkesan primitive. It may be true.

Dengan adanya cerita kemarahan teman saya di atas dan perasaan dalam hati Saya yang diam-diam mengatakan setuju dengan pendapatnya, menunjukan bahwa jaman sekarang harapan masyarakat sudah berubah dari yang sebelumnya akan peran (role) seorang pemimpin (leader), namun masih terdapat “lack” dengan kenyataan bahwa masih banyak manager dari yang level junior sampai level senior yang masih belum competent dan mampu menampilkan diri sesuai harapan kekinian jaman.

Mohon maaf sebelumnya jika terkesan me-generalisasi pandangan Saya dan teman ini sebagai pandangan masyarakat, tetapi saya tetap “keukeuh” bahwa dalam logika berfikir kolektif masyarakat telah terjadi perubahan mengenai harapan akan peran seorang leader.

Para leader pada umumnya masih belum memiliki (mau) sikap mental yang seharusnya. Ada yang masih memiliki sikap mental buruh/babu, penjilat, dan bahkan ada yang memiliki sikap mental selebritis. Kesemuanya itu tidak pada tempatnya.
Yang bersikap mental seperti buruh, Dia akan menganggap anak buahnya sebagai saingan dan tidak senang kalau anak buahnya lebih pintar, maju, dibandingkan dengan dirinya. Melupakan tanggung jawabnya unntuk mengembangkan anak buahnya. Dia tidak memiliki kemampuan untuk mendelegasikan tugas pada anak buahnya dan bekerja sendiri tak ubahnya dengan karyawan pada umumnya.

Si penjilat, akan dengan mati-matian melayani atasan dengan sangat berlebihan sehingga melupakan anak buahnya. Tidak perduli anak buahnya kocar-kacir bagaikan anak ayam kehilangan induk. Bahkan kadang kala tidak perduli dengan jalannya operasional kerjaan teamnya. Team work baginya adalah orang-orang yang mendukung misinya untuk membuat atasan klimis dan licin terjilati. Biasanya operasional kerja teamnya akan tidak optimal memainkan peran dan fungsi sebagai bagian dari organsisasi yang besar. Dan kalau mendapat kompalin dari bagian lain akan dengan sangat mudah si penjilat menyalahkan anak buahnya sebagai orang yang berposisi lebih lemah darinya.

Sedangkan si “selebritis “ akan abai pada peran dan tugas yang menjadi tanggung jawabnya, lebih sibuk tebar pesona demi mendapatkan pujian dari lingkungan bahwa Dia adalah yang paling menawan dan cerdas secara ragawi. Kok tidak nyambung? Cerdas secara ragawi??? Memang si “selebritis” biasanya kalau menganalisa permasalahan juga dangkal dan sering tidak nyambung. Seperti layaknya setereotipe yang digambarkan masyarakat mengenai “selebriti” lah. Mengandalkan rasionalisasi tetapi tidak memiliki kapasitas yang mencukupi, terkesan dipaksakan untuk logis. Anak buah bagi dia adalah layaknya groupies yang harus memuja-muja si “selebritis” setiap waktu. Segala salah dan kegagalan team dalam bekerja adalah dosa anak buah sekalian, bukan Atasan.

Kembali ke masalah teman saya tadi, jika apa yang diharapkanya tidak sesuai dengan harapanya apa yang harus dilakukanya? Berdoa, menyanyi, menangis, atau ,marah-marah???

Kembali ke hakekat kehidupan sajalah bahwa itu adalah kenyataan, kalaulah kita mampu merubah keadaan maka rubahlah namun jika tidak mampu kita harus menerima segala konsekuensi dan segera melakukan antisipasi untuk survive. Intinya harus ada keputusan dan action.

Kalaulah tujuan dan aspirasi kita dalam bekerja tidak bisa tercapai dengan bekerja di tempat tersebut dan kita mampu mencari pekerjaan lain, go a head lah pindah.
Kalau kita tidak mampu merubah keadaaan dan tidak mampu mencari pekerjaan yang lain maka kita harus menyesuaikan diri dengan aturan main “permainan atasan”, akan tidak nyambung kalau atasan mengajak bermain sepakbola tetapi kita tetap keukeuh memakai aturan permainan bola volley.

Jangan sampai kita tidak tetap di situ, tetap tidak mampu merubah keadaan dan tetap tidak mau menyesuaikan diri juga. Ingat waktu terus bergerak, kalau menunggu pertolongan Tuhan agar merubah keadaan melalui takdirnya. Apakah kita tidak GR (Gede Rasa)? Apakah kita cukup PD (Percaya Diri) dengan tingkat keimanan kita, sehingga Tuhan akan membantu kita dengan kita hanya berdiam diri. “Siapa elu?” kata Tuhan.

Tuhan pun tidak menyarankan itu,” Tuhan akan merubah nasib suatu kaum jika dia berusaha”.

Benar yang dikatakan orang Betawi, “Di Jakarta (dunia) ga ada yang gratis, bung!”

Tuesday, June 9, 2009

Sang Juara


Di tengah kondisi krisis ekonomi global yang sekarang ini sedang melanda, biaya hidup semakin meningkat semetara tingkat pendapatan tetap dan bahkan beberapa perusahaan membatasi jam kerja atau bahkan ada yang terancam PHK. Kita tidak bisa lari dari kondisi ekonomi sekarang ini karena sifatnya yang meng-global, sehingga kita seorang diri takkan mampu untuk merubahnya, harus ada upaya bersama secara menyeluruh oleh bangsa sedunia.

Dengan kondisi ini, kita para karyawan yang menggantungkan pendapatan untuk membiayai operasional hidup ini dari gaji yang di dapatkan dalam tiap bulanya, harus melakukan upaya-upaya yang ‘tidak biasa’. Dalam kondisi yang luar biasa kita tidak bisa berharap untuk mendapatkan hasil yang lebih baik jika kita bekerja melalui cara-cara yang biasa.

Sebenarnya hikmah dari kondisi krisi ekonomi ini adalah kita medapatkan kesempatan untuk menunjukan bahwa kita adalah pribadi (karyawan) yang unggul, karena hanya pribadi benar-benar memiliki sikap hidup dan kualitas competencies yang baik, yang akan mampu mengatasi masalah.

Dalam suatu pertandingan olah raga hanya ada satu orang atau satu team saja yang menjadi juara, dan mereka adalah yang mampu: berlari lebih cepat, meloncat lebih jauh dan melompat lebih tinggi. Mungkin yang lain telah melakukan persiapan yang sama baik dan bahkan mungkin lebih baik, namun momentum hanya mampu dimanfaatkan oleh sang juara. Dan yang lain hanya menjadi biasa-biasa saja.

Sehingga untuk bisa mendapatkan imbalan hasil kerja yang lebih baik kita sebagai karyawan harus bisa memiliki pola pikir yang posistif, memandang bahwa keadaan krisis sekarang ini adalah suatu momentum yang tepat untuk membuktikan keunggulan competenciesn yang kita miliki. Selanjutnya upaya-upaya yang keras dan tanpa kenal lelah adalah langkah selanjutnya agar competencies yang kita miliki dapat maksimal menunjang hasil kerja yang unggul. Yang terakhir, jangan takut untuk menjadi berbeda dengan orang lain, karena seperti disampaikan di atas bahwa dalam pertandaingan juara pertama hanya ada satu.

Monday, May 18, 2009

Facebook VS Kinerja


Telah banyak tulisan di media cetak mengulas tentang hubungan “demam facebook” dengan perilaku karyawan dalam bekerja. Kalau coba disimpulkan dan dirata-rata boleh dikatakan bahwa tulisan-tulisan tersebut lebih banyak menyatakan bahwa Facebook banyak “mudaratnya” terhadap kinerja karyawan. Apakah memang demikian buruk pengaruh facebook terhadap kinerja pegawai?

Kalau karyawan demikian ter“adiction”nya sehingga tidak bisa mengelola waktunya dan akhirnya hasil kerjanya menurun maka memang sepantasnya “facebook” diblokir agar tidak di akses oleh karyawan.

Beberapa kalangan yang tidak setuju dengan pandangan itu pasti akan menentang dengan menyatakan bahwa belum ada studi ilmiah yang membuktikan bahwa dengan sering mengakses facebook kinerja akan menurun. Beberapa yang lainya mungkin akan mengatakan dengan mengambil contoh dirinya bahwa kinerja tidak menurun dengan adanya “tambahan kerja” membuka-buka facebook. Tentu saja alasan ini juga belum didukung oleh hasil studi ilmiah.

Tetapi jika kita ingat pesan ceramah yang diajarkan oleh para pemukan agama (apapun agamanya), sering disampaikan bahwa apapun jika “berlebihan” atau “terlalu” dalam versinya bang haji Roma Irama, itu tidak baik. Pun jika itu yang enak-enak dan yang halal.

Jika kita mengambil esensi dari ajaran tersebut rasanya tidak ada yang “mengharamkan” adanya facebook asalkan tidak berlebihan, apa hubunganya coba? Yang akan dikatakan di sini sebenarnya adalah, jika karyawan tetap menunjukkan prestasi kerja yang baik dan tidak menggunakan sebagian besar waktu dan konsentrasi untuk aktivitas “facebooking” ini, facebook masih pada tataran “tidak berdosa”.

Yang artinya karyawan sendiri harus mampu mengelola dirinya dengan baik antara mengerjakan pekerjaan kantor dan “pekerjaan dari facebook”.

Sungguh memang sangat mengasyikan dan menyegarkan ketika kita bisa mendapatkan up date informasi teman-teman SMA, SMP atau bahkan SD yang telah puluhan tahun tidak tahu kabarnya. Seketika itu juga memori kita akan melayang ke masa berpuluh-puluh tahun lalu tentang kelucuan-kelucuan, cinta-cintaan, dan kenakalan masa muda. Belum lagi ditambah dengan ilustrasi foto-foto yang tentunya akan menambahkan sensasi yang dirasakan menjadi kian lengkap.

Kesenangan “facebooking” tidak berhenti sampai di situ saja, apakah yang pembaca semua rasakan jika ada teman yanag mge”add” kita, apa juga yang dirasakan jika komentar kita dalam “wall” mendapat komentar yang lucu-lucu. Sensasi “fresh” dan menyenangkan akan dirasakan.

Pertanyaan selanjutnya adalah siapa yang tahan dengan godaan ini? Jawabanya adalah mereka yang memiliki komitmen yang tinggi terhadap tugas dan tanggung jawabnya atau karyawan yang memiliki competency melakukan “devided attention” yang baik sehingga tidak mudah terpengaruh oleh “distruction factors” yang ada .

Tentunya karyawan yang masuk golongan ini tidak banyak dan manusiawi (bahwa manusia itu pada dasarnya tidak sempurna), namun tetap harus di upayakan dari sisi internal dalam diri masing-masing karyawan. Sehingga sangat bisa dipahami jika perusahaan (pengusaha) sebagai pihak external membuat kebijakan memblokir atau selektif dalam memberikan akses karyawan terhadap facebook.

Untuk beberapa bagian mungkin justru facebook akan membantu dalam bekerja, seperti sales dan marketing, karena bagian tersebut harus “gaul” dan up date terhadap informasi di luar. Namun tentunya bagian mana yang akan mendapatkan hak untuk mengakses ataupun bahkan larangan untuk mengakses tetap merupakan hak prerogratif Perusahaan (pengusaha), tentunya hak ini tidak disemangati oleh sikap negative yang akan kontra produktif terhadap kinerja karyawan.

Kebijakan yang “ win-win” akan lebih memberik dampak yang posistif bagi kedua belah pihak, karyawan dan perusahaan.

Sunday, May 10, 2009

“Aku resign ah, udah ga tahan lagi!”


Mario Teguh dalam sebuah sesi “Golden Ways” di Metro TV mengatakan bahwa hakekat kehidupan adalah adanya pertumbuhan , sedangkan pertumbuhan itu sendiri hakekatnya adalah perubahan (berubah). Berubah menjadi lebih tinggi, lebih luas, atau lebih besar.

Dalam dunia kerja biasanya kita akan terpikirkan untuk resign jika menemui situasi yang tidak nyaman, antara lain jika kita berhadapan dengan situasi: tidak suka atau tidak disukai oleh atasan, perusahaan sedang mengalami krisis keuangan, merasa gaji yang kita dapatkan terlalu kecil, bosan dengan situasi kerja yang monoton.

Di antara alasan yang disampaikan di atas adalah hal-hal yang jika kita pindah kerja mungkin akan terjadi juga di tempat kerja yang baru.

Kesimpulannya adalah janganlah kita resign karena untuk menghindari masalah di tempat kerja sebelumnya. Hadapi dan selesaikanlah masalah yang sedang di depan kita dengan kesungguhan dan sikap profesionalitas. Karena pengalaman kita dalam menghadapi dan menyelesaikan masalah akan menaikkan level kematangan dan profesionalitas kita, pada akhirnya akan menjadi nilai tambah yang memperkaya portfolio kita sebagai karyawan.

Sehingga bukanya kita semakin malas, ogah-ogahan, dan bahkan menghindarkan diri untuk bertanggung jawab. Tetapi tetap focus, dengan segenap competencies yang kita miliki semaksimal mungkin mengatasinya. Sejatinya kualitas seseorang akan semakin terlihat dalam dalam menghadapi situasi kritis.

Hendaknya jika kita resign atau pindah kerja lebih didasari oleh alasan yang menunjang pencapaian tujuan dan cita-cita karir kita. Seperti apa yang disampaikan oleh Mario Teguh di atas bahwa hanya akan resign (pindah kerja) jika mendapatkan tawaran pekerjaan yang menantang competencies yang kita miliki, mendapatkan tanggung jawab yang lebih besar dan mendapatkan ragam pekerjaan yang lebih kaya. Karena semua itu akan meningkatkan level kematangan, competencies dan profesionalitas kita yang akan semakin mendekatkan kita pada arah pencapaian tujuan karir di masa depan.

Bicara mengenai salary dan benefit, semuanya akan mengikuti seiring dengan beban kerja, tanggung jawab yang diemban dan prestasi yang kita hasilkan.

Monday, April 20, 2009

Politik Kantor

Sekarang ini dunia perpolitikan nasiomal sedang meningkat tensinya seiring dengan semakin dekatnya masa pilpres pada bulan Juli 2009 nanti. Tujuan dari politik itu sendiri adalah kekuasanan, bagi yang menang dalam pemilu maka akan berhak untuk memegang kendali Pemerintahan Negara.

Kemudian kalau kita mendengar istilah Politik kantor itu apa maksudnya? Maksud dan tujuanya sama saja dengan politik dalam bernegara. Orang yang menjalankan politik di kantor atau ditempat kerja adalah untuk mendapatkan “kekuasaan”, yang dalam terminology dunia kerja maksudnya adalah: peningkatan career/jabatan, kepentingan diri sebagai karyawan dapat diakomodasi oleh atasan sehingga mendapatkan keuntungan yang diharap (pujian, penilaian yang baik, kenaikan gaji, terhindar dari tanggung jawab, dll).

Wah, artinya semua karyawan akan melakukan politik kantor, dong? Jawabnya tidak, karena dalam politik kantor biasanya para praktisinya adalah orang yang menyadari kekurangan yang ada dalam dirinya. Dengan kekuranganya tersebut kalau tidak di-“make offer” maka si karyawan akan tampak seperti biasa saja, sehingga kesempatan peningkatan level jabatanya akan sama dengan orang-orang pada umumnya (apa adanya). Dengan “make offer” prestasi karyawan tersebut akan dipersepsikan luar baiasa dan kinclong, setiap inci improvement yang dibuat akan ter “zoom in” oleh atasan.

Politik kantor yang lain adalah bersifat negative, agar terhindar dari tanggung jawab, menghindarkan diri dari penugasan yang tidak disukai, menghindarkan diri dari sangsi akibat kesalahan yang dibuat. Pada dasarnya semua yang dilakukan adalah untuk suatu kepentingan pribadi dan hal ini kongruen dengan politik Negara.

Politik kantor boleh saja dan sah dilakukan asalkan tidak menggunakan cara-cara yang merugikan orang lain dan mengedepankan cara-cara yang elegan. Tetapi memang agak sulit untuk menemukan praktek politik yang demikian. Karena biasanya mereka akan dikenal sebagai karyawan: penjilat, cari muka, makan kawan sendiri, dan oportunis.

Biarpun kesannya negative namun hal ini adalah hal yang sangat umum terjadi dalam dunia kerja. Kalau kita cukup percaya diri dengan competencies yang kita miliki sebenarnya tidak perlu melakukan hal-hal yang seperti itu. Tetapi perlu diingat bahwa “mengiklankan” apa yang kita kerjakan adalah juga cukup penting, melalui jalur komunikasi yang ada. Misalkan menjelaskan dalam sesi meeting atau presentasi dan media komunikasi internal. Sehingga tidak usah sakit hati bila ada rekan kerja yang melakukan praktek politik kantor.

Sunday, April 12, 2009

Kiat Sukses Interview Kerja

Banyak candidates (calon karyawan) yang masih belum jelas beda anatara interview dengan HRD, Atasan Langsung (Direct-User), Atasan dari Atasan Langsung. Kejelasan akan tujuan interview ini sangat berguna bagi candidates dalam melakukan persiapan dan membuat candiates lebih tampil percaya diri.

Sehingga apabila mereka pada akhirnya gagal dalam proses rekrutmen (tidak diterima kerja) memiliki kejelasan mengenai apa yang harus diperbaiki bila menghadapi seleksi selanjutnya. Yang ada di benak para candidates akhirnya adalah prasangka dan seperti tebak-tebakan saja, apa yang membuat mereka gagal.

Kalau kita melihat kualifikasi interviewer, harus diakui bahwa memang masih ada beberapa User yang kurang memiliki competencies dalam melakukan interview sehingga tidak tahu apa yang harus ditanyakan ketika melakukan seleksi kepada calon anak buahnya. Pada akhirnya yang terjadi, keputusan menerima seorang kandidat tidak didasarkan oleh competencies tetapi lebih didasarkan oleh faktor yang sangat artificial. Tidak mampu menggali lebih dalam competencies yang dipersyaratkan oleh suatu jabatan.

Selanjutnya di sini akan diuraikan mengenai tujuan dari tiap-tiap tahapan interview sehingga diharapakan didapatkan pemahaman yang baik, yang pada akhirnya candidates pencari kerja tahu bagaiaman mempersiapkan diri dan memeperbaiki diri dalam menghadapi sesi interview.

Interview dengan HRD

Tujuan HRD melakukan interview biasanya lebih luas daripada sesi interview lainya, namun pada dasarnya hanya ada dua point besar yang ingin digali, yaitu: Soft Compatencies dan Hard Competencies. HRD biasanya lebih menekankan aspek soft competencies candidates yang meliputi aspek sikap dan kepribadiaan dari candidates, seperti: leadership, teamwork, problem solving, comunication, motivasi, interpersonal relation dan seterusnya.

Sedangkan dalam Hard Competencies biasanya HRD lebih melihat tingkat keahlian sesorrang pada aspek-aspek: seberapa lama seseorang megang suatu jabatan atau tugas, seberapa kompleks permasalahan yang pernah dihadapi di bidang tugasnya tersebut, seberapa penting kecakapan/kontribusi hasil kerja si candidates tersebut bagi perusahaan. Jadi dengan kata lain melihat tingkat kecakapan teknis seorang candidates dari sisi yang lebih umum.

Interview dengan Direct User

Direct User adalah orang yang paling berkepentingan dengan seberapa cakap dan terampil candidates di bidang kerjanya. Sehingga pertanyaanya akan sangat teknis sekali dan mungkin candidates akan diminta untuk menyelesaikan contoh kasus/persoalan praktis yang dihadapi sesuai dengan skill atau ketrampilan yang dituntut oleh jabatan /pekerjaan tersebut. Sehingga diharapkan sebelum mengikuti sesi interview ini candidates mempersiapkan diri dengan berbagai pertanyaan dan persoalaan tentang bidang yang terlait. Sangat disarankan candidates membuat semacam studi/research kecil tentang bidang kerja yang specifik sesuai dengan perusahaan yang dilamar. Sebagai contoh, jika anda melamar sebagai Sales Manager perusahaan Telekomunikasi, Anda persiapkan materi tentang rencana kerja dan terobosan apa yang akan dilakukan jika menempati posisi tersebut yang di dasarkan pada research tentang pasar telekomunikasi.

Selain menggali hard competencies/kemampuan teknis, biasanya interviewer juga akan melihat aspek no teknis atau yang biasa disebut chemistry/kecocokan. Ada atasan lebih suka tipe anak buah yang konvensional, menurut dan patuh pada atasan, ada juga yang lebih suka punya anak buah yang kritis yang selalu mengkritisi pemikiran atasan. Bahkan ada beberapa atasan yang memiliki kecenderungan untuk lebih memilih anak buah dari gender tertentu, misalkan lebih memilih perempuan karena lebih teliti, lebih nurut dan seterusnya. Kedengarannya hal ini cenderung subyektif, seperti layaknya memilih jodoh, kalau boleh diibaratkan. Namun dalam aspek ini biasanya interviewer akan meminta second opinion dengan HRD, sehingga jangan kawatir keputusan yang diambil tidak objektif.

Interview dengan atasan dari Direct User.

Biasanya interviewer pada sesi ini adalah karyawan dengan level yang cukup tinggi, minimal Sr. Manager. Karena sudah melalui beberapa tahap interview sebeluymnya dengan HRD dan Direct User, pada umumnya interview di level ini lebih bertujuan untuk mengecek apakah rekomendasi di sesi interview sebelumnya telah sesuai dengan prosedur dan competencies yang dipersyaratkan. Sehingga proses interview biasanya tidak terlalu lama dan isi pertanyaanya biasanya tidak seberat pertanyaan sesi interview sebelumnya. Kadang User di level ini hanya ingin melihat dan berkenalan saja dengan orang yang akan menjadi anggota tea kerjanya. Kalau tidak ada sesuatu yang fatal dalam proses sebelumnya biasanya cukup banyak yang lulus. Contohnya jika mencari teknisi listrik tetapi yang dipilih tidak memiliki latar belakang pengalaman dan pendididkan di bidang tersebut maka akan dinyatakan tidak lulus oleh interviewer.

Demikian semoga dengan informasi di atas kita sebagai candidates bisa melakukan persiapan yang baik dalam menghadapi proses interview, agar berhasil meraih pekerjaan sesuai dengan yang diharapkan.

Monday, April 6, 2009

Kiat Sukses Menghadapi Psikotes


Banyak pemahaman yang salah yang berkembang di masyarakat mengenai tes psikologi (psikotes). Pemahaman tersebut banyak diyakini kebenaranya oleh masyarakat umum. Hal ini terjadi karena memang dalam kode etiknya tidak diperbolehkan memebrikan informasi kemasyarakat umum tentang alat tes, cara pengerjaan dan interpretasi hasilnya. Sementara di sisi lain tidak sedikit candidates yang tidak diterima kerja ataupun gagal untuk dipomosikan ke jabatan denga level yang lebih tinggi karena hasil psikotesnya gagal.

Perlu dipahami juga tentang maksud dari rekomendaasi dalam psikotes. Banyak para praktisi HRD sendiri yang memiliki pemahaman yang kurang tepat terhadap hasil psikotes. Pada dasarnya hasil psikotes adalah masukan bagi HRD ataupun User untuk mengambil keputusan menerima/menolak candidates untuk menempati sebuah posisi. Jadi bukan satu-satunya aspek yang paling menentukan, masih ada aspek lain yang akan menjadi bahan pertimbangan, yaitu diantaranya adalah aspek:
  1. Technical competencies.
  2. Karakteristik calon atasan, kecocokan chemistry.
  3. Kebutuhan organisasi yang berkait dengan aspek batas waktu (due date)
Dalam praktek di dunia kerja aspek nomer 3 menjadi aspek yang menentukan jika secara organisasi management pengelolaan SDM nya belum terencana dengan baik. Hal ini jamak terjadi dalam praktek di kebanyakan perusahaan di Indonesia.

Dari dulu hingga sekarang banyak orang (candidates) yang masih penasaran, sehingga menggunakan berbagai macam kiat dan usaha agar sukses dalam mengerjakan persoalan yang diberikan dalam psikotes. Banyak pemahan dan sikap yang salah berkembang pada masyarakat umum.

Cara pandang dan sikap yang tidak tepat dari candidates (peserta psikotes) dalam rangka proses promosi ataupun seleksi /recruitment, dianatarnya adalah:

  1. Mengikuti pemahaman ‘salah’ yang beredar di masyarakat tentang psikotes. Pemahaman tersebut dianataranya adalah : ketika menggambar pohon harus berada ditengah-tengah, ketika tes kraeplin harus diupayakan bahwa titik puncaknya semakin lama semakin tinggi. Kalau menggambar orang jari-jarinya harus kelihatan. Justru bila kita mengikuti pemahaman yang sepeti ini akan menyesatkan karena tidak jelas siapa yang memberikan informasi tersebut, tidak jelas referensi yang dijadikan acuan. Sehingga tidak sepatutnya kita mengikuti pemahaman yang tidak bisa dipertanggung jawabkan itu
  2. Mengikuti kursus psikotes. Kalaulah memang benar kursus ini ada dan yang menjadi pengajarnya bukanlah psikolog, sudah pasti kita akan buang-buang biaya dan waktu. Karena untuk memahami dan memiliki keahlian yang baik mengenai alat-alat tes yang digunakan dalam psikotes, seorang psikolog perlu kuliah sarjana selama minimal 4 tahun dan kuliah program profesi selama minimal 2 tahun, serta ditambah pengalaman praktis yang intensif. Apakah masuk akal jika seorang yang tidak memiliki latar belakang psikologi mampu memberikan trik dan cara mudah menaklukan soal psikotes? Tetapi kalaulah si pengajar kursus tersebut seorang psikolog pastilah dia ‘sakit jiwa’. Karena dia telah melanggar janji dan sumpah nya ketika lulus kuliah untuk tidak menyalah gunakan pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya. Hanya orang yang mentalnya sakitlah yang berani melanggar sumpah profesionalitasnya. Mengapa kita mempercayai omongan orang yang sakit jiwa, pastilah akam mengacaukan dan belum tentu semuanya benar adanya.
  3. Belajar dari buku-buku yang banyak dijual di toko buku. Sangat disayangkan sekali banyak dijual buku petunjuk cara sukses mengerjakansoal psikotes, karena hal ini akan mengacaukan para candidates. Karena apa yang mereka sajikan belum tentu benar dan sekali lagi mereka bukanlah psikolog yang memang memiliki pengetahuan dan keahlian di bidang penggunaan alat-alat tes. Sehingga jika candidates mengikutinya akan membuat hasilnya tidak jelas karena mendapatkan pemahaman yang salah. Sedangkan jikalau ternyata yang menyusun buku petunjuk tersebut adalah orang yang memiliki latar belakang ilmu psikologi pastilah Ia telah mengalami gangguan jiwa, sekali lagi dikarenakan melanggar kode etik. Percayalah petunjukanya juga belum tentu benar karena kalau Dia competent pastilah tidak cari duit dengan cara seperti itu, karena pasti Dia “tidak laku”. Masa kita mengikuti panduan yang dibuat oleh orang yang tidak competent?
Sehingga agar sukses dalam mengahadapi psikotes disarankan tips berikut

  1. Datang tepat waktu sesuai dengan jadwal yang sudah ditentukan. Kelihatannya mungkin sepele, namun mengingat uraian pada poin pertama yang mana pelaksanaan tesnya memakan waktu yang lama dan tanpa ada yang jeda, jelaslah tidak tepat waktu akan mempengaruhi kesiapan dalam mengerjakan soal. Kalau candidates terlambat pasti tidak mendapatkan penjelasan yang lengkap mengenai cara pengerjaan dan informasi penting lain yang merupakan aturan main dalam pelaksanaan psikotes ini. Kalau tidak jelas dan kita bertanya tidak akan mendapatkan kesempatan yang cukup leluasa.
  2. Kerjakan terlebih dahulu soal yang mudah. Hal ini dikarenakan dalam pelaksanaan psikotes ada batas waktu untuk tiap-tiap sub tesnya. Sedangkan waktunya ada yang diinformasikan dan ada yang tidak. Terlalu berkutat pada soal yang sulit jelas akan memakan waktu yang lama sehingga dari jumlah soal yang harus Anda kerjakan pasti tidak akan selesai. Sehingga lewati saja soal yang pengerjaanya memerlukan waktu lebih dan masih tersisawaktunya Anda dapat kembali lagi mengerjakanya. Sehingga waktu yang tersedia dapat dimanfaatkan dengan lebih efektif.
  3. Bertanyalah bila ada yang tidak jelas. Boleh jadi Anda sudah familiar dengan soal yang disajikan namun tetap perhatikanlah jika Tester menjelaskan. Untuk memastikan bahwa pemahaman Anda sudah benar.
  4. Ikuti dan patuhi petunjuk yang diberikan oleh Tester. Jika Anda tidak patuh dan sering curi-curi kesempatan untuk mengerjakan soal seharusnya belum waktunya/mengulang mengerjakan soal yang telah lewat maka akan mengacaukan konsentrasi. Sementara soal-soal yang dirancang dalam psikotes membutuhkan konsentarsi yang baik. Sehingga dikawatirkan akan membuat hasilnya tidak maksimal.
  5. Maksimalkan seluruh daya upaya dan energy yang Anda miliki. Berkonsentrasi penuh dan optimalkan upaya dan energy yang Anda miliki untuk menyelesaikan dengan sungguh-sungguh setiap persoalan yang disajikan. Seolah-olah Anda tidak memiliki kesempatan lagi di esok hari.
Dengan demikian semoga Anda dapat secara optimal berupaya dan mendapatkan hasil yang maksimal dan pada akhirnya Anda akan mendapatkan posisi atau jabatan yang sesuai dengan bakat, minat dan potensi yang dimiliki.

“Pada dasarnya psikotes tidak perlu ada persiapan sebelumnya, setiap orang akan mampu mengerjakan dengan baik asalkan mengikuti petunjuk yang diberikan oleh tester”.